Siang itu ada yang berbeda dengan Nindi,
selain wajahnya yang cemberut dia juga asik menatap layar ponselnya. Nindi
hanya diam, aku yang udah lima belas menitan duduk di depannya jadi merasa
bosan. “Kau kenapa sih? Aneh banget hari ini?”
“Gapapa kok” jawab nindi kalem
“Gapapa, tapi kayak gitu, kayak lagi
patah hati aja?”
Bari sebentar aku duduk di sebelahnya
tiba-tiba datang seorang cowok nyamperin Nindi. “Nindi, bisa ngomong sebentar”
Tanpa menoleh ke arah cowok itu Nindi
langsung beranjak dari tempat duduknya sambil menarik tanganku “Kita pergi aja”
“Eh! Apa an nih?” aku bingung
Cowok itu diam membatu, dia membiarkan
kami pergi sambil menatap kami dengan tatapan kosong. Saat itu aku hanya bisa
mendiuga-duga, mungkin cowok itu lagi patah hati dengan Nindi. Atau jangan-jangan
cowok itu adalah mantan pacaranya yang minta balikan?. Entahlah! Aku juga gak
ngerti apa yang sedang terjadi.
Kami berhenti di tukang cendol depan
gerbang kampus. Nindi mengambil posisi duduk yang teduh lalu memesan dua porsi
cendol, padahal aku lagi gak pengen minum cendol. Selain aku gak haus itu juga
karena aku masih penasaran dengan apa yang terjadi barusan.
“Eh, kenapa sih?” tanyaku penasaran
Nindi menekuk wajahnya “Gapapa”
“Yaelah, dari tadi ditanyakin jawabnya
gapapa, gimana aku bisa tau kalo kau gak ngomong apa apa. Emangnya aku bisa
baca hatimu” aku mulai kesal
Pengen rasanya aku meninggal nindi di
tukan cendol itu, tapi aku gak tega meninggalkan dia yang lagi galau. “Kalo ada
masalah itu ngemeng, jangan mingkem aja. You now?”
Nindi mengangguk “Aku galau di, aku
lagi ada maslah?”
“Mangkanya ngemeng dong? Eh! Maksudku
ngomong dong?”
Nindi mengambil napas dalam-dalam “iya
iya, tapi dengerin ya?”
Aku mengangguk “he em”
Dia pun mulai bercerita “aku itu orang
yang gampang percaya sama orang, apa lagi sama orang yang deket sama ku.
Meskipun kadang-kadang orang itu sering bohong tapi aku aku masih tetap percaya
bahwa setiap orang punya kejujurannya masing-masing”
“berarti kalo aku bohong, kamu percaya
dong”
“Iya! Aku percaya. Bohongin aja aku
terus” ujar nindi ketus
Aku diem, Nindi melanjutkan ceritanya
“Tapi semua berubah sejak dia datang. Dia temen sma ku. Kami memang satu SMA
tapi kami mulai dekat ketika semester tiga kemarin, waktu itu dia pindah ke
kosan sebalah kos ku. Aku seneng karena pada akhirnya ada juga cowok yang bisa
diandalkan di komples kosan kami”
“Mula-mula kami biasa aja, kami mulai
dekat karena dia deket dengan temen kosku, Nina. Nina sering kepo nanyain
tentang dia, mentang-mentang kami satu SMA bukan berarti aku tau banyak tentang
dia. Bahkan tau namanya aja baru waktu itu. Selama SMA aku sama sekali gak
pernah ketemu dia, karena dia juga bukan anak yang populer di sekolah”
“Karena sering ketemu, akhirnya kami
jadi sering cerita, kami jadi sering ngobrol dan sering berbagi, rasanya gak
ada yang sulit saat kami bersama. Aku seneng aja karena akhirnya ada juga anak
cowok yang normal di kompleks kami”
“Lho emangnya di kompleks kosan kalian
gak ada cowok normal ya?” ujarku menyela
“Bukan gitu. Maksudnya, hampir semua
cowok di kompleks kosan kami anaknya aneh-aneh, ada yang suka genit, ada yang
malu-malu, ada juga yang gampang ke ge’eran, malah ada yang cueknya gak
ketulungan”
Nindi menarik nafas dalam-dalam lagi,
lalu melanjutkan ceritanya “Aku masih ingat waktu itu jam dua belas malam, saat
itu adalah hari ulang tahunku, dia memberi kejutan yang luar biasa, kejutan
yang gak pernah bisa ku lupakan waktu itu. Yang membuatku kagum karena dia
berani minta ijin langsung kepada ibu kos kami untuk membuat kejutan itu,
rasanya hampir sulit di percaya ibu kos kami yang galak pun bisa di luluhkan
olehnya”
Tatapan nindi mulai berbeda seolah-olah
dia sedang menggali memori masa lalunya “Dua hari setrelah itu dia menyatakan
perasaanya dan kami pun langsung jadian. Rasanya seneng punya cowok sekeren
dia. Dia perhatian, baik dengan semuanya dan suka mmeberi kejutan”
“tapi perlahan semua berubah, setahun
setelah kami jadian dia terlihat berbeda, dia mulai banyak bohongnya dan
bodohnya lagi aku selalu percaya dengan semua kebohongannya. Meskipun orang
bilang aku bodoh karena percaya dengan semua omongannya, aku gak peduli, sekali
sayang tetap sayang.
Bahkan saat orang-orang bilang dia udah
gak sayang lagi karena udah punya pacar baru, aku juga gak peduli. Aku masih
tetep percaya padanya, sampai-sampai saat dia di gosipin jalan dengan Nina, aku
juga gak percaya. aku lebih percaya padanya”
Mata Nindi mulai berkaca-kaca, dia
menggigit bibir bawahnya. Setelah beberapa detik dia melanjutkan “Sampai akhirnya
saat itu pun tiba, waktu dia gak bisa di hubungi sama sekali, aku galau,
perasaanku gak enak. Tapi temen kos ku tetap menghiburku mereka mengajakku
jalan-jalan ke taman kampus berharap suapaya aku bisa senyum kembali. Tapi
sesampainya disana hatiku hancur, aku melihatnya berdua dengan Nina.
ah! Aku hampir gak percaya, dia yang ku
percaya ternyata diam-diam gandengan dengan temenku sendiri. Aku menghampiri
mereka, lalu dia menjelaskan semuanya. Katanya mereka cuma temenan dan lagi
curhat, sementara itu Nina hanya tertunduk diam. Dan saat itulah untuk pertama
kalinya aku gak percaya padanya. Aku menamparnya lalu pergi meninggalkannya.
Malam harinya dia minta maaf padaku
tapi aku masih sulit untuk memaafkannya. Meskipun sulit pada akhirnya aku
memaafkannya dan saat itu juga lah aku mengakhiri hubungan kami.
Dua hari setelah kejadian itu, dia
pindah kos, diikuti dengan Nina yang pindah kos setelah itu.
Akhirnya semua jelas dan aku pun
menghapus semua yang berhubungan dengannya” Nindi menghela nafasnya diiringi
dengan menyeka air matanya.
Aku bertanya “Terus kenapa dia dateng
lagi?”
“Entahlah di, dia minta maaf lagi dan minta
balikan”
“Terus!”
“aku gak mau balikan”
“kan masih bisa di omongin?” jawab ku
ketus
“kau mau belain dia?” nindi melotot
“Bukan itu, maksudku kan bisa di
omongin kalo kau udah gak mau lagi sama dia. Lagian bilang aja ‘aku mau
sendiri’ gitu. Atau apalah gitu, supaya dia gak ngejar-ngejar kau lagi. Kan gak
lucu kalo nanti kalian kejar-kejaran di dalam kereta api”
“Eh! Aku udah ngomong tapi dia aj yang
gak mau demger”
“Yang iya nya kalian aja yang gak
pernah ngomongin ini dengan baik-baik. Coba kalo di omongin baik baik pasti gak
kayak gini”
“Isss, kok jadi aku yang di salahkan?”
“Denger ya! Sebaiknya kau ngomong
pelan-pelan dengannya, kalian omongin baik-baik dan kalian selesaikan masalah
ini. Kalo dia punya otak pasti dia ngerti kok. Kalo dia masih gak ngerti juga
dan masih ngejar-ngejar dirimu kita bisa lapor ke polisi”
“tapi, gimana aku bisa ngomong sama dia
coba, kalo ketemu dia aja sebel melulu”
“kau kan gak sendiri, kau punya temen.
Temen kos mu, temen kuliahmu atau temen cewekmu yang lain kan ada. Minta mereka
menemani. Kayaknya gak sulit-sulit amat deh”
“iya deh iya. Makasih ya? Kalo gitu
nanti malam bakalan ku omongin dengan temen kos ku”
Aku menghela nafasku, es batu di
cendolku udah mulai cair aku buru-buru menghabiskannya. Nindi beranjak dari
temapt duduknya lalu membayar cendolnya “aku duluan ya?” ujarnya.
Aku mengangguk “iya” jawabku
Nindi bergegas meninggalkanku tapi
rasanya ada yang kurang saat ia pergi. Beberapa detik kemudian aku baru sadar
aku masih tidak tau sia nama cowok yang di sebut “dia”. Dia orang mana? Tinggal
dimana? Kuliah dimana? Aku juga gak tau? Bagaiman akalo nanti kita ketemu di
jalan? Aku harus apa?
Ah! Sudahlah. Bdoh amat, lagian dia itu
siapa?
-------------------------------oOo-----------------------------