Cerita Kemarin

Cerita Kemarin




Gak banyak yang bisa ku ceritakan hari ini.

Aku masih diam dan gak banyak bicara, rasanya aku benar-benar lelah padahal gak banyak yang ku lakukan.

Hidup ini pilihan dan kita semua tau itu, masalahnya gak semua pilihan ku tepat, dan terkadang aku memilih yang salah.

Ada dua hal yang menyebabkan aku memilih yang salah, pertama karena aku tidak tau itu salah dan kedua aku tau namun aku tetap memilihnya.

Ceritanya kemarin aku melakukan kesalahan lagi.

Kesalahan kecil sih, akan tetapi kesalahan kecil yang terus diulang pun bisa menjadi masalah yang serius.

Aku tau dan sekarang aku akan memperbaikinya.

Iya aku harus memperbaikinya.

Hidup itu pilihan. Aku punya hak untuk memilih apa pun. Namun biar bagaimana pun aku harus memilih yang baik dan yang benar.

Apa pun ceritanya aku memang harus memilih yang baik dan yang benar.

Lalu bagaimana supaya aku tau itu baik dan benar?

Belajarlah!

Belajarlah!
Karena kau terlahir tanpa mengetahui apapun.

-------------------------------oOo-----------------------------

Waktu itu di Rumah Ilham

Waktu itu di Rumah Ilham




Waktu itu aku baru aja pulang ngajar, rasnaya aku masih letih. Miko ngajak aku dateng kerumah Ilham, alasanya ada wiritan dirumah Ilham jadi kita sekalian ngumpul, maklum udah lama gak ngumpul soalnya.

“Aku agak telat ya?”

“Iya gapapa dateng aja. Awas kalo kau gak dateng” Ujar Miko lewat telpon

“Iya deh” aku sebel karena hari ini jam ku penuh dan aku merasa lelah, waktu yang seharusnya bisa ku gunakan untuk istirahat kini harus tergadaikan.

Sebenernya aku males mau dateng kerumah Ilham. Tapi karena kawan. Yaa apa boleh buat, aku harus datang. Apa lagi katanya hari ini Auji dateng. Yaa hitung-hitung silaturahmi lah.

***

Jam dua lewat dikit aku sampe kerumah Ilham. Ilham duduk di teras sambil mengisap rokok di temani dengan segelas kopi hitam. “Orang itu di dalam. Masuk lah” katanya.

Aku memarkinkan motorku “udah rame?”

Dia mengangguk “Udah, masuklah”

Aku langsung masuk keruang tamu, disana temen-temen udah pada ngumpul. Seneng rasanya bisa ketemu temen nongkrong yang udah lama gak ngumpul, meskipun gak lengkatp tapi ini udah cukup untuk melepas rindu.

Ku perhatikan satu-satu wajah teman-temanku. Sialnya mataku hanya tertuju pada satu orang “Romlah”. Iya, Romlah yang akan segera menikah dua minggu lagi. Padahal di ruangan itu ada Rika, Miko dan Auji. Tapi pandanganku sulit lepas dari Romlah.

Kami pun ngobrol ringan sambil sesekali bersenda gurau. Meskipun kadang-kadang aku gak bisa menahan diri untuk menatap Romlah. Ingin rasanya aku bicara dengannya tapi rasanya berat. Abaikan Romlah, pikirku dalam hati.

Sampai akhirnya Miko menatapku dalam-dalam “Kau gak mau ngomong apa-apa sama Romlah?”

Dahiku langsung berkerut “Ngomong apa?”

“Entah ngomong apaaa gitu?” auji ikutan menatapku tajam

“Aku sama Romlah kan udah selesai, udah gak ada yang perlu di omongin lagi”

Mendadak perasaanku menjadi kacau. Pikiranku langsung tertuju pada Miko. Ini pasti akal-akalan Miko saja. Aku merasa di kerjain.

Auji menimpali “Romlah udah jauh-jauh datang dari Medan Johor ke Tanjung morawa. Masak kau gak mau ngomong apa-apa?”

“Aku harus ngomong apa?” darahku mendidih ingin rasanya aku keluar dari rauangan itu, tapi aku berusaha untuk tetep tenang.

Gak tanggung-tanggung Auji langsung ke intinya “Kau patah hati. Aku tau, tapi setidaknya kau harus ngomong”

“Ngomong apa lagi?!” nadaku meninggi

Romlah dan Rika hanya diam. Mereka menatap kami khawatir seolah akan terjadi pertumpahan darah dalam ruangan itu. Romlah menunduk lalu Rika memluknya.

Sejanak, ruangan itu terasa angker. Tatapan kami saling beradu, dua lawan satu ceritanya. Dan aku harus siap menghadapi mereka berdua. Sementara itu Ilham duduk di teras sambil merokok. Sepertinya ia gak mau ikutan rebut di dalam.

Kami saling tatap

“Kalian mau apa? Urusanku sama Romlah udah kelar dan gak ada yang perlu kita omongin”

Miko kelihatan kesal  “Lit, denger ya.?! Kau tau kenapa kau kami ajak kemari?”

Aku diam menggeleng

“Karena dia” Miko menujuk Romlah yang masih tertunduk

Romlah menatap kami satu persatu. Tatapannya dalam seolah ada yang ingin di katakan.

Seolah gak mau terus terusan jadi bahan omongan Romlah pun angkat bicara ”Udahlah Ko, ini memangg rumit. Dan kami memang gak berjodoh”

“Bukan gitu Rom. Aku gak mau ada duri di persahabatan kita. Okeh, kita sama-sama tau kalian gak berjodoh. Tapi kalo gara-gara ini kalian jadi gak cakapan, kami kan jadi gak enak juga?!” Miko menarik napas dalam - dalam.
***

Pikiranku masih tertuju pada Romlah. Dan rasanya memang ada yang harus ku katakan.

Aku masih ingat waktu Romlah lamaran.

Saat itu hatiku kacau, apa lagi Romlah bakalan menikah dengan sepupuku sendiri, anak dari Pamanku, Rendi. Temen deketku dan temen sekamarku selama aku kuliah.

Waktu itu Miko yang paling gak percaya dengan kabar ini datangi kerumahku malam-malam.

“Oalah lit, liiit. Aku heran sama mu, bisa-bisanya kau di tikung sepupumu. Kau ini gimana sih? Bukannya kau yang mau melamar dia?”

“Ah! Entahlah” tatapanku kosong tak ada yang bisa ku katakan.

Miko menyalakan Rokoknya “Aku itu pengen kau yang jadian sama Romlah bukan dia. Bukan Rendi. Tapi kau, Alit sutrisno”

Aku merasa kesal “ngapain pulak kau ngurusin hubunganku sama Romloh. Aku sama Romlah itu udah berakhir”

“Lit, kau masih punya kesempatan. Kita bisa atur supaya acara lamarannya Romlah sama Rendi batal”

“Kau gila?! Mana mungkin aku mengacaukan acara lamaran mereka. Rendi itu sodaraku. Empat tahun aku satu kamar sama dia! Aku gak mau merusak semuanya” aku kesal

Iya aku kesal karena Miko ikut campur urusanku. Aku tau teman-temanku sangat peduli denganku tapi aku tetap gak suka kalo urusan pribadiku di campuri.

Ini masalah hatiku, masalah cintaku dan aku gak mau mereka ikut campur, karena bagiku ini pribadi, ini privasi.

“Kau yang gila! Kenapa dari awal bukan kau yang melamar dia?”

“Kami gak jodoh. Udah gitu aja”

“Kau itu gak jelas. Kalo kau berani dikit aja, semua gak kayak gini. Kau itu pengecut” ini kata-kata paling sakit dari Miko yang pernah ku dengar

Aku sakit hati dan aku pengen marah, tapi mengingat aku sedang patah hati dan pengen nangis akhirnya aku memilih diam

Aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha untuk tenang “Ada banyak yang gak bisa ku ceritakan ko. Bukan karena aku gak mau cerita, aku cuma belum siap untuk cerita. Aku tau kalian semua kecewa samaku. Tapi namanya hidup aku harus memilih aku harus mengambil pilihan dan harus memutuskan. Ini memang berat tapi aku harus mengambil pilihan ini”

“Aku gak ngerti jalan pilihanmu. Sukakmu lah” Miko beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkanku sendiri di depan rumahku.

***

Perasaanku makin kacau, suasana dalam ruangan semakin seram. Rasnya langit bergemuruh seoalah badai akan segera datang. Aku merasa harus bicara aku harus menyelesaikan semua ini

Aku menatap Romlah “Romlah mau ngomong apa? ngomonglah”

Romlah kembali menunduk “Aku cuma bilang sama mu lit. kau berubah, sejak saat itu. Sejak kau tau aku dan Randi. Kau berubah, kau jadi orang yang lain, jadi orang yang gak ku kenal. Padahal tadinya aku berharap sama mu, tapi kau menghancurkan semua harapan itu. Kau gak datang saat aku butuh jawaban. Aku tau ini sulit, Tapi aku harus mengambil keputusan ini. Aku harus menerima lamarannya. Aku gak bisa terus menunggu dirimu yang gak jelas.

Mata Romlah mulai berkaca-kaca. Isak tangis mulai terdenger perlahan, Rika memeluknya semakin erat.

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku berusaha tenang. Aku merasa mungkin inilah saatnya aku bicara.

“Aku memang gak jelas Rom. Aku gak jelas dan harusnya kau tau aku memang gak pernah jelas. Aku minta maaf karena telah menumbuhkan harapan itu lalu mengabaikannya dan menghancurkannya. Aku jahat” aku diam sejenak, jantungku berdebar kencang, tak pernah seperti ini sebelumnya.

“Tadinya aku berniat melamarmu, tapi sesuatu terjadi. Ada hal yang sulit ku ceritakan. Dan aku gak tau harus mulai dari mana. Biarkan aku tenang sejenak”

Aku meneguk segelas teh yang sudah tidak panas lagi. Rasa manisnya cukup membuat pikiranku tenang sejenak.

“Aku masih inget. waktu itu malam minggu, aku dateng kerumah Rendi. Disana Rendi menyambutku bahagia, dia mengajakku ke ruang tengah lalu di bertanya “Kau sama Romlah ada hubungan apa?” aku kaget tapi harus ku jawab “gak ada hubungan apa-apa” “Kalian deket, ku kura pacaran” “enggak” jawabku, terus dia bilang “Romlah cakep, baik lagi, kira-kira mau gak dia jadi istriku ya?” aku makin kaget tapi aku berusaha untuk tenang, terus aku nanyak “Kau suka Romlah?”. Dia mengangguk “iya” katanya”

“waktu itu mendadak pikiranku kacau, aku merasa ini berat, aku sempet mengeluh, mengapa harus kayak gini. Mengapa harus aku? … ”

“Kenapa kau diam? Kenapa gk kau bilang sama rendi kalo kau …” Romlah memotongku tapi suaranya terhenti karena isak tangisnya

“Aku gak bisa Romlah! Ini rumit dan aku gak bisa ngomong apa-apa. Aku miskin sejak lahir, keluarga ku miskin kami gak punya apa-apa. Kau tau selama kuliah aku numpang di rumah Rendi, di rumah om ku. Empat tahun aku tinggal di sana, tidur disana, makan disana, main disana. Ku pikir aku orang miskin yang paling beruntung waktu itu. Tapi sekarang aku tau aku gak seberuntung itu. Semua kebaikan yang mereka berikan tak bisa kubalas begitu saja. Namun, saat aku tau Rendi suka sama mu. Mungkin inilah saatnya aku membalas budi” perlahan mataku mulai berkaca-kaca

“Kau bego!” Ujar Auji

“Ji!” Miko memberi isyarat untuk diam

Romlah menangis sejadi-jadinya, dia menghapus air matanya lalu dengan menahan isak dia berkata “Kenapa Lit? kenapa?”

***

Dimalam keenam pasca lamaran, Rendi menelponku, katanya dia gelisah, perasaannya gak karuan.

“Udah hampir seminggu dia belum ngasi jawaban. Kira-kira di terima enggak ya?” Tanyanya padaku

“Optimis aja bro. yakin dan percayalah pasti di terima. Kalo kita dateng baik-baik pasti di sambut dengan baik. Tapi biar bagaimana pun kau harus siap dengan jawabannya” sejujurnya aku perih bahkan saat memberi jawaban itu pun mataku berkaca-kaca, aku beruntung karena di telpon coba kalo jumpa langsung? Entahlah aku gak tau apa yang akan terjadi.

“Aman bro. Di terima atau di tolak aku udah siap. Apa pun yang terjadi aku harus siap, yang penting aku udah melakukan yang terbaik”

Malam itu kembali kelabu. Gelap terasa sangat gelap. Aku tak bisa banyak bicara.

***

Aku juga harus tau bahwa selama itu pula Romlah menantiku. Berharap aku membalik kan keadaan. Seperti pangeran berkuda yang menyelamatkan tuan putrinya.

Di temani Rika, Romlah masih saja geilisah “Kenapa Alit gak dateng? Bukannya dia sayang?”

Rika berusaha untuk menenangkannya “Udahlah Romlah, udah ada yang jelas kok. Lagian ngapain sih nungguin Alit, di saat-saat seperti ini dia malah hilang?”

“Padahal aku berharap sama Alit. Aku berharap dia yang dateng melamar. Bukan Rendi”

“Iya sih, tapi kalo memang jodohmu bukann Alit. Kau mau ngomong apa?”

“Iya sih. Jadi gimana nih?”

“Mantabkan hatimu Rom, tentukan pilihanmu. Tapi ingat! kadang-kadang orang baik tidak datang dua kali mengetuk pintumu. Karena itu berhati-hatilah. Kalo kau udah yakin, tunggu apa lagi. Jangan di tolak. Dan yang paling penting Shalat dan berdoa lah”

“ya sih, tapi..”

“Tapi apa? Oooh.. cinta? Tenang aja nanti kau akan mengerti. Selama kalian taat kepada atura Agama. Cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Percayalah. Allah tidak pernah salah dengan segala aturannya. Ikuti aja aturan Allah. Insyaallah cinta akan bersemi”

“Yaudah deh, makasih sayang” Romlah tersenyum lalu memeluk Rika erat-erat.

***

Padahal sebenernya aku merasa sangat berat. Aku pengen nangis tapi gak bisa. Malam itu sehabis menerima telpon dari Rendi aku langsung menuju rumah Ilham.

Aku menceritakan semuanya. Untuk pertama kalinya aku harus jujur dengan diriku sendiri. Aku kalah tapi kata Ilham aku gak pernah kalah, justru aku lah pemenangnya.

“Kau hebat bro. Kau tinggalin Romlah utuk sodaramu”

“Sebenernya berat. Tapi mau gimana lagi coba. Aku cuma bisa pasrah”

“Kau kalo mau nangis-nangis aja. Gak usah sok tegar, kadang-kadang kita memang perlu menangis, bukan karena kita lemah tetapi untuk menghilangkan sesak di dada”

“Aku gak kayak kau, yang nangis di putusin Tiara”

“Itu kan dulu. Zaman kuliah, zaman kita masih bocah. Sekarang aku udah beranak. Hahahaha. Tapi kau bener-bener gapapa kan?”

Aku menggeleng “enggak?”

“Bagus? Sabar ya bro! kalo kau meninggalkan sesuatu karena Allah mudah-mudahan kau akan mendapat ganti yang lebih baik, dengan catatan kau harus tetap istiqomah di jalan yang bener.

“iya. Aku tau harus Lillahi ta’ala. Makasih bro” aku tersenyum kecil. Senyum yang di paksakan “Eh! Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Kalo Puisi dari Rendi untuk Romlah, aku yang buat”

“Aman bosku”

***

Miko dan Alit gak bisa berkata apa pun. Mereka hanya diam menyaksikan kami. Rika yang sebenernya pengen bicara pun gak berani unjuk gigi.

Aku melanjutkan “Aku juga kacau Romlah. Mungkin kita memang gak berjodoh. Aku udah berusaha untuk tenang dan aku udah ngomong baik-baik sama Rendi. Dia juga udah tau semuanya, semua tentang kita dan semua yang terjadi antara kita. Dia juga berjanji akan menjagamu dengan baik dan dia juga akan menjadi yang terbaik untukmu. Percayalah! Rendi itu orang yang hebat, orang yang tekun gigih dan pintar. Dia hampir sama sepertiku bedanya hanya satu, dia lahir dari keluarga kaya sedang aku lahir dari keluarga miskin”

“Tapi kenapa? Kenapa baru sekarang aku tau“

“Romlah, kau masih ingat waktu kau bilang aku makcomblang terbaik yang pernah kau kenal?. Aku yang nyomblangi Ilham sampe dia nikah, aku juga yang nyomblangi Rika sampe nikah. Aku juga yang sering ngasi solusi untuk temen-temen kita yang punya masalah asmara. Kau bilang aku yang terbaik, kau gak salah Rom,  dan sekarang aku baru aja membuktikannya. Pada akhirnya aku berhasil nyomblangi Rendi” kalimatku terhenti, aku menghapus air mataku yang sempat menetes

Romlah menghapus air matanya pelan-pelan ia berusaha tenang “Lit, aku sempet salah sangka. Aku kira kau gak jelas. Tadinya aku kecewa sama mu Lit. aku kecewa berat. Kau ninggalin aku di saat aku butuh, terus tiba-tiba Rendi dateng dan melamarku. Aku galau Lit,aku gelisah. Pengen ku tolak aja lamarannya, tapi aku gak bisa. Sampai akhirnya aku minta waktu seminggu untuk menjawabnya.  Selama seminggu itu aku berpikir keras, selama seminggu itu pula aku berharap dan berdoa agar kau datang supaya aku punya alasan untuk menolak lamarannya nya. Tapi kau yang ku harapkan juga gak kunjung dateng. Akhirnya aku aku harus mengambil keputusan yang berat ini. Berat Lit, berat bagiku Lit, tapi aku harus mengambil keputusan ini. Dan aku gak mungkin mundur”

Aku tersenyum kecil “Gak usah nangis lagi Rom, gak ada yang perlu di tangisi. Kau gak salah. Keputusanmu udah tepat”

Miko dan Auji hanya diam, isak tangis Romlah terdengar pelan Rika memeluk Romlah erat-erat.

Gak ada yang menyangka ceritanya bakalan seperti ini. Hanya Ilham yang tau semuanya. Mungkin ini juga yang menjadii alasan mengapa Ilham tidak mau ikut campur dalam ruangan ini.

“Romlah, kau masih ingatkan waktu aku di putusin Layla”

Romlah mengangguk

“Hapuslah air matamu Romlah, seperti katamu waktu itu “jangan menangis untuk orang yang salah”. Karena sekarang aku orang yang salah untukmu. Kau gak pantas menangis karenaku”

“Aku menangis bukan karenamu. Aku menangis karena cerita kita tak seindah yang ku harapkan”

“Sudahlah, kita memang tidak di takdirkan bersama. Mau menangis seperti apa pun kalo gk jodoh ya percuma”

Romlah menghapus air matanya “Makasih Lit. makasih untuk semua yang kau berikan padaku, untuk semua cerita yang kau berikan dan semua hal hebat yang pernah kau berikan. Kau hebat, kau memang selalu hebat. Semoga kau dapet pendamping yang lebih baik dariku”.

Romlah tersenyum lagi, seperti biasa, senyumanya terlihat manis meskipun di balik wajah sendunya. “semoga setelah ini semuanya menjadi lebih baik”

Tapi kini aku sudah tenang “Makasih bro, udah mengatur pertemuan ini”

Miko dan Auji tersenyum kecil

-------------------------------oOo-----------------------------

Seperempat Abad

Seperempat Abad




Astaga . . . aku udah seperempat abad lebih…

Jadi Jomblo perak nih ceritanya.

Di usiaku yang sudah seperempat abad ini aku melakukan evaluasi

dan hasilnya.

Mmmm…

Masih kurang memuaskan… masih banyak point merah yang harus ku perbaiki.

Harus jadi lebih baik, begitulah katanya. Tapi ah! Sudahlah

Aku gak bisa ngomong banyak apa lagi ngomongin tentang usia, karena sejatinya usiaku semakin berkurang dan jatah hiduku juga semakin berkurang, artinya semakin hari aku sedang berjalan menuju kematian..

Aku tidak tau kapan aku berakhir. Yang aku tau aku harus beramal shaleh sebelum aku berakhir.

Point merahku masih banyak, itu artinya masih banyak yang harus ku perbaiki, karena itu aku harus upgrade.

Udah seperampat abad lebih masih kayak gini?

Perbaiki

Selama masih ada waktu tugasku adalah memperbaiki hidupku.

-------------------------------oOo-----------------------------



Obrolan siang itu

Obrolan siang itu




Siang itu Ilham dateng ke rumahku, pakaiannya lusuh dan wajahnya semrawut. “udah lama?” tanyaku

“udah setengah jam”

Sudah dari tadi Ilham menunggu di depan rumahku, aku udah nyaranin supaya ketemuan di sekolah aja, tapi katanya di rumahku aja sekalian ngobrol.

“Ayo masuk” aku mempersilahkanya masuk,

“Rumahmu gak berubah ya?”

“Paling cuma cat nya” jawabku

“Hahahaa, aku jadi ingat waktu lajang dulu” Ilham duduk lalu memandang sekitar

“Gak buru-buru kan?”

“Enggak, santa aja”

Aku ke kamar sebentar lalu merogoh tabunganku dan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu kemudian memberikannya kepada ilham.

“Segini cukup”

“Udah, Ini udah lebih dari cukup?”

“Memangnya kenapa sih, gak pernah-pernahnya loh kau ngutang sejak nikah”

“Anak ku sakit bro, malah daganganku seret lagi. Entahlah! Pening kepala ku?” Ilham menepuk keningnya

“Sakit apa? Udah lama?”

“Demam, udah tiga hari"

“Semoga cepat sehat lah”

“Makasih loh ya. Aku jadi ngerepotin”

“Aaaaah! Uda deh, pakek aja dulu. Nanti kalo ada apa-apa bilang, kalo bisa ku bantu, ya kubantu lagi”

“Makasih banyak lah bro. Aku jadi malu, harusnya kan aku yang bantu kau. Eh! Ini malah ke balik”

“Udah gapapa, dari dulu juga gitu kan?”

Ilham tertawa kecil “hahaha, iya sih. Kau memang yang terbaik. Tapiu, kadang aku suka heran  kenapa orang baik macem kau kok belum dapet jodoh ya?”

“Hah!” aku nyengir

Ilham tertawa kecil “Aku cuma bercanda bro. santai aja. Dari dulu memang kau yang paling banyak membantuku. Mulai dari zaman kuliah sampe aku mau nikah aku selalu ngerepoton dirimu. Sekarang aku udah berumah tangga pun masih aja ngerepotin dirimu. Padahal kau anak perantauan, hidup sendirian lagi. Aku kadang malu sama mu. Tapi mau gimana lagi, kau masih gak tergantikan. Aku cuma bisa berdoa mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik untukmu”

“Aamiin”

Aku menyeduh dua gelas teh.

Ilham menyalakan Rokoknya “Tapi aku suka heran sama mu?”

“Heran kenapa?”

“Kau orang yang penuh kejutan”

“Kejutan gimana?”

“Kau cepat Move on, padahal baru aja di tinggal nikah sama Romlah”

Aku nyengir “hahahaha, Romlah anaknya Haji Zaenal? Biarlah situ, sekarang semua udah tinggal cerita. Ternyata kita memang gak berjodoh” aku mengeleng

“Iya sih, biar di bilang gimana pun kau keliatan biasa aja. Kau memang gapapa kan?” Ilham menepuk pundakku, pandangannya tajam ke mataku

Aku menunduk lesu “Sebenernya sih gak kayak gitu. Perih bro?” aku mengelus dada.

“Tapi kau bener-bener hebat. Tinggal sendirian, merasakan pahitnya hidup sendirian, dan saat-saat seperti ini malah di tinggal temen. Tapi kau masih tetap berdiri. Kau hebat. Aku jadi pengen tau jodohmu nanti seperti apa?”

Aku diam pikiranku buyar sejenak sejak Ilham menyebut nama Romlah tadi.

“Semoga dia orang yang hebat” lanjut ilham sembari mengisap rokoknya dalam-dalam.

Aku menyeruput teh yang udah gak panas lagi “ayo di minum”

Ilham ikutan menyeruput teh yang sudah ku hidangkan sejak tadi “Sekarang semua udah gak sama ya bro. Udah banyak yang berubah, kau juga udah banyak berubah dalam waktu dekat ini”

“Berubah apa nya, aku tetap gini-gini aja?” aku merasa di sudutkan

“Tetap gimana? tetap jomlo maksudnya?” Ilham meledekku lagi

“iya. Aku masih aja kayak gini, padahal rasanya aku udah berusaha keras. Aku udah berusaha semampuku. Tapi sejujurnya aku masih merasa gagal. Aku gagal sebagai anak, aku gagal sebagai pribadi dan entah mengapa terkadang aku merasa kehilangan rasa percaya diriku”

“Kau gak salah, hidup memang kayak gini bro. aku juga kadang kayak gitu. Minder, kehilangan percaya diri, aku merasa gak bisa ngapa-ngapain. Entahlah aku juga gak ngerti bilangnya” Ilham menyemburkan asap rokoknya, kali ini lebih banyak dari biasanya

“Iya sih, tapi kalo di pikir-pikir sebenernya kita cuma kurang bersyukur aja. Iya kan?”

“Iya sih?” Ilham mengangguk “Dari dulu kita memang kurang bersyukur, selalu aja ada yang kurang”

Aku gak ngerti mengapa obrolan  hari ini begitu hangat, padahal biasanya kalo kami ketemu kami lebih sering ngomongin hal-hal yang gak penting.

Udah lama juga kami gak ngobrol hangat seperti ini. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.

Aku masih ingat, terakhir kali kami ngobrolin kayak gini waktu aku patah hati di malam lamarannya Romlah tepatnya tujuh bulan yang lalu. Dan setelah itu semua obrolan kami lebih banyak tentang guyonan dan hanya sesekali ngobrol ringan.

Semua mengalir begitu saja. Apa yang ku pikirkan terucap begitu saja, tanpa ada basa-basi dan bualan omong kosong kosong. Sejenak kami terlihat seperti dua orang bijak yang sedang ngobrol ringan.

Ternyata, kita sama-sama punya masalah hidup. Dan kita sama-sama butuh temen cerita, udah lama aku kehilangan teman cerita. Dan terakhir kali aku bercerita dengan Ilham itu tujuh bulan yang lalu. Iya. Tepatnya di malam lamaran Romlah.

Itu pun karena Rumahku tak jauh dari rumah Ilham. Dan hanya ilham satu-satunya temanku yang bisa ku temui saat itu.

Satu-persatu temanku pergi, mereka pergi memasuki fase kehidupan selanjutnya. Sebagian menikah sebagian lagi sibuk berkarir. Tanpa di sadari kita semua sudah melupakan teman lama dan parahnya kita melupakan diri sendiri.

Sejak saat itu aku gak pernah cerita pada siapa pun tentang diriku dan tentang apa yang kurasakan, aku merasa gak butuh teman cerita, aku merasa aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Aku merasa kuat dengan pencapaianku saat  ini. Padahal sebenernya aku ringkih, aku bener ringkih dan aku butuh temen.

Ilham juga begitu, malu mengakui keadaannya pada temen-temennya. Malu mengakui bahwa dia ringkih, padahal dulunya kita sama-sama ringkih dan saling menolong. Namun sejak kita memasuk babak baru kehidupan kita merasa bisa sendiri padahal kita sama-sama masih membutuhkan.

Dan kalo di pikir pikir sebenernya kita terlalu gengsi aja.

Kita terlanjur menganggap diri kita hebat, sampai akhirnya kita malu mengakui pada teman sendiri “Aku masih membutuhkanmu kawan. Ayo lah”

“Sejujurnya aku seneng kau masih disini, aku masih punya temen untuk berbagi hal yang gak penting” Ilham melanjutkan

“Dari dulu kan harusnya begitu, tapi semua memang udah gak sama lagi, biar bagaimana pun kita sama-sama udah jadi orang yang beda. Kau jadi beda dengan kehidupanmu aku juga jadi beda dengan kehidupanku dan tanpa kita sadari kita udah jadi orang lain”

Ilham menyalakan batang rokok berikutnya “Iya ya, kita udah jadi orang lain. Padahal rumah kita masih deketan loh ya. Bisa aja kita sering-sering ketemu, tapi entahlah”

Kami ngbrol banyak siang itu, dan tanpa kami sadari kami kembali menemukan apa yang sudah lama hilang ”Persahabatan”

Udah hampir jam empat sore, Ilham pamit pulang.

“makasih yang bro, ntar kapan-kapan ku ganti lah”

“Udahlah, selesaikan aja dulu urusanmu. Gak usah di pikirin dulu deh”

“Makasih”

“makasih juga udah mau dateng”

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Ilham pulang, aku menutup pintu rumahku tak lama azan berkumandang. “Ah! Sudah ashar”

Aku mengganti pakaianku lalu bergegas ke mesjid “semoga anakanya ilham segera sehat”

Siang itu aku belajar satu hal. Ternyata selama ini aku salah, aku salah karena aku selalu merasa sendiri disini, aku juga salah karena udah lama menutup diri.

Iya! Aku memang berubah sejak saat itu. Sejak saat nikahan Romlah.

Tapi hari ini aku belajar. Aku harus terus melangkah karena hidup harus terus berjalan.
-------------------------------oOo-----------------------------