Obrolan siang itu
Siang itu Ilham dateng ke rumahku,
pakaiannya lusuh dan wajahnya semrawut. “udah lama?” tanyaku
“udah setengah jam”
Sudah dari tadi Ilham menunggu di
depan rumahku, aku udah nyaranin supaya ketemuan di sekolah aja, tapi katanya
di rumahku aja sekalian ngobrol.
“Ayo masuk” aku mempersilahkanya
masuk,
“Rumahmu gak berubah ya?”
“Paling cuma cat nya” jawabku
“Hahahaa, aku jadi ingat waktu
lajang dulu” Ilham duduk lalu memandang sekitar
“Gak buru-buru kan?”
“Enggak, santa aja”
Aku ke kamar sebentar lalu
merogoh tabunganku dan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu kemudian
memberikannya kepada ilham.
“Segini cukup”
“Udah, Ini udah lebih dari
cukup?”
“Memangnya kenapa sih, gak
pernah-pernahnya loh kau ngutang sejak nikah”
“Anak ku sakit bro, malah
daganganku seret lagi. Entahlah! Pening kepala ku?” Ilham menepuk keningnya
“Sakit apa? Udah lama?”
“Demam, udah tiga hari"
“Semoga cepat sehat lah”
“Makasih loh ya. Aku jadi
ngerepotin”
“Aaaaah! Uda deh, pakek aja dulu.
Nanti kalo ada apa-apa bilang, kalo bisa ku bantu, ya kubantu lagi”
“Makasih banyak lah bro. Aku jadi
malu, harusnya kan aku yang bantu kau. Eh! Ini malah ke balik”
“Udah gapapa, dari dulu juga gitu
kan?”
Ilham tertawa kecil “hahaha, iya
sih. Kau memang yang terbaik. Tapiu, kadang aku suka heran kenapa orang baik macem kau kok belum dapet
jodoh ya?”
“Hah!” aku nyengir
Ilham tertawa kecil “Aku cuma
bercanda bro. santai aja. Dari dulu memang kau yang paling banyak membantuku. Mulai
dari zaman kuliah sampe aku mau nikah aku selalu ngerepoton dirimu. Sekarang
aku udah berumah tangga pun masih aja ngerepotin dirimu. Padahal kau anak
perantauan, hidup sendirian lagi. Aku kadang malu sama mu. Tapi mau gimana
lagi, kau masih gak tergantikan. Aku cuma bisa berdoa mudah-mudahan Allah memberikan
yang terbaik untukmu”
“Aamiin”
Aku menyeduh dua gelas teh.
Ilham menyalakan Rokoknya “Tapi
aku suka heran sama mu?”
“Heran kenapa?”
“Kau orang yang penuh kejutan”
“Kejutan gimana?”
“Kau cepat Move on, padahal baru
aja di tinggal nikah sama Romlah”
Aku nyengir “hahahaha, Romlah
anaknya Haji Zaenal? Biarlah situ, sekarang semua udah tinggal cerita. Ternyata
kita memang gak berjodoh” aku mengeleng
“Iya sih, biar di bilang gimana
pun kau keliatan biasa aja. Kau memang gapapa kan?” Ilham menepuk pundakku,
pandangannya tajam ke mataku
Aku menunduk lesu “Sebenernya sih
gak kayak gitu. Perih bro?” aku mengelus dada.
“Tapi kau bener-bener hebat.
Tinggal sendirian, merasakan pahitnya hidup sendirian, dan saat-saat seperti
ini malah di tinggal temen. Tapi kau masih tetap berdiri. Kau hebat. Aku jadi
pengen tau jodohmu nanti seperti apa?”
Aku diam pikiranku buyar sejenak
sejak Ilham menyebut nama Romlah tadi.
“Semoga dia orang yang hebat”
lanjut ilham sembari mengisap rokoknya dalam-dalam.
Aku menyeruput teh yang udah gak
panas lagi “ayo di minum”
Ilham ikutan menyeruput teh yang
sudah ku hidangkan sejak tadi “Sekarang semua udah gak sama ya bro. Udah banyak
yang berubah, kau juga udah banyak berubah dalam waktu dekat ini”
“Berubah apa nya, aku tetap
gini-gini aja?” aku merasa di sudutkan
“Tetap gimana? tetap jomlo
maksudnya?” Ilham meledekku lagi
“iya. Aku masih aja kayak gini,
padahal rasanya aku udah berusaha keras. Aku udah berusaha semampuku. Tapi
sejujurnya aku masih merasa gagal. Aku gagal sebagai anak, aku gagal sebagai
pribadi dan entah mengapa terkadang aku merasa kehilangan rasa percaya diriku”
“Kau gak salah, hidup memang
kayak gini bro. aku juga kadang kayak gitu. Minder, kehilangan percaya diri,
aku merasa gak bisa ngapa-ngapain. Entahlah aku juga gak ngerti bilangnya”
Ilham menyemburkan asap rokoknya, kali ini lebih banyak dari biasanya
“Iya sih, tapi kalo di pikir-pikir
sebenernya kita cuma kurang bersyukur aja. Iya kan?”
“Iya sih?” Ilham mengangguk “Dari
dulu kita memang kurang bersyukur, selalu aja ada yang kurang”
Aku gak ngerti mengapa
obrolan hari ini begitu hangat, padahal
biasanya kalo kami ketemu kami lebih sering ngomongin hal-hal yang gak penting.
Udah lama juga kami gak ngobrol
hangat seperti ini. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.
Aku masih ingat, terakhir kali
kami ngobrolin kayak gini waktu aku patah hati di malam lamarannya Romlah
tepatnya tujuh bulan yang lalu. Dan setelah itu semua obrolan kami lebih banyak
tentang guyonan dan hanya sesekali ngobrol ringan.
Semua mengalir begitu saja. Apa yang
ku pikirkan terucap begitu saja, tanpa ada basa-basi dan bualan omong kosong kosong.
Sejenak kami terlihat seperti dua orang bijak yang sedang ngobrol ringan.
Ternyata, kita sama-sama punya
masalah hidup. Dan kita sama-sama butuh temen cerita, udah lama aku kehilangan
teman cerita. Dan terakhir kali aku bercerita dengan Ilham itu tujuh bulan yang
lalu. Iya. Tepatnya di malam lamaran Romlah.
Itu pun karena Rumahku tak jauh
dari rumah Ilham. Dan hanya ilham satu-satunya temanku yang bisa ku temui saat
itu.
Satu-persatu temanku pergi, mereka
pergi memasuki fase kehidupan selanjutnya. Sebagian menikah sebagian lagi sibuk
berkarir. Tanpa di sadari kita semua sudah melupakan teman lama dan parahnya
kita melupakan diri sendiri.
Sejak saat itu aku gak pernah
cerita pada siapa pun tentang diriku dan tentang apa yang kurasakan, aku merasa
gak butuh teman cerita, aku merasa aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Aku
merasa kuat dengan pencapaianku saat
ini. Padahal sebenernya aku ringkih, aku bener ringkih dan aku butuh
temen.
Ilham juga begitu, malu mengakui
keadaannya pada temen-temennya. Malu mengakui bahwa dia ringkih, padahal
dulunya kita sama-sama ringkih dan saling menolong. Namun sejak kita memasuk
babak baru kehidupan kita merasa bisa sendiri padahal kita sama-sama masih
membutuhkan.
Dan kalo di pikir pikir
sebenernya kita terlalu gengsi aja.
Kita terlanjur menganggap diri
kita hebat, sampai akhirnya kita malu mengakui pada teman sendiri “Aku masih
membutuhkanmu kawan. Ayo lah”
“Sejujurnya aku seneng kau masih
disini, aku masih punya temen untuk berbagi hal yang gak penting” Ilham
melanjutkan
“Dari dulu kan harusnya begitu,
tapi semua memang udah gak sama lagi, biar bagaimana pun kita sama-sama udah
jadi orang yang beda. Kau jadi beda dengan kehidupanmu aku juga jadi beda
dengan kehidupanku dan tanpa kita sadari kita udah jadi orang lain”
Ilham menyalakan batang rokok
berikutnya “Iya ya, kita udah jadi orang lain. Padahal rumah kita masih deketan
loh ya. Bisa aja kita sering-sering ketemu, tapi entahlah”
Kami ngbrol banyak siang itu, dan
tanpa kami sadari kami kembali menemukan apa yang sudah lama hilang ”Persahabatan”
Udah hampir jam empat sore, Ilham
pamit pulang.
“makasih yang bro, ntar
kapan-kapan ku ganti lah”
“Udahlah, selesaikan aja dulu
urusanmu. Gak usah di pikirin dulu deh”
“Makasih”
“makasih juga udah mau dateng”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Ilham pulang, aku menutup pintu
rumahku tak lama azan berkumandang. “Ah! Sudah ashar”
Aku mengganti pakaianku lalu
bergegas ke mesjid “semoga anakanya ilham segera sehat”
Siang itu aku belajar satu hal. Ternyata
selama ini aku salah, aku salah karena aku selalu merasa sendiri disini, aku
juga salah karena udah lama menutup diri.
Iya! Aku memang berubah sejak saat
itu. Sejak saat nikahan Romlah.
Tapi hari ini aku belajar. Aku harus
terus melangkah karena hidup harus terus berjalan.
-------------------------------oOo-----------------------------