Yusri dan ceritanya di masa SMA. Ada cerita yang belum selesai.



Jam 06.00 pagi aku udah keluar rumah, lalu  jalan kaki menuju simpang dan menunggu angkot untuk pergi kesekolah. Kalo gak mau ketinggalan angkot dan gak mau duduk di bangku tempel aku harus datang lebih cepat. Bersama beberapa temanku kami udah berdiri di  simpang. Sambil menunggu angkot kami bercerita sambil sesekali bercanda. Begitu angkot datang kami berebut untuk masuk duluan, seperti yang ku bilang tadi yang paling belakangan biasanya duduk di bangku tempel. 


Rumahku di desa kasindir, kecamatan jorlanng hataran kabupaten simalungun. Sementara itu aku sekolah di MAN Pematangsiantar yang terletak di jalan singosari Pematangsiantar. Hampir setiap hari jam 6.35 aku udah sampai sekolah. Aku memang bukan satu-satunya siswa yang sampai di sekolah pagi-pagi ada siswa lain yang datang lebih pagi dariku dan biasanya kami yang datang pagi selalu disuguhi pemandangan paling indah di sekolah “Sejuk dan sepi”.

***

Waktu aku masih kelas X. entah mengapa bagiku matematika adalah mata pelajaran yang biasa aja. Gak ada yang istimewa dari matematika, aku lebi tertarik dengan Fisika dan tokoh modernnya “Eonsten”. Aku berharap suatu saat jadi orang sejenius Einsten dengan pengetahuan Fisika Modernnya.

Keinginanku mempelajari fisika semakin kuat ketika guru fisikaku yang merupakan wali kelasku mengatakan nilai fisika ku sangat bagus, bahkan terbaik di kelasku.

Sesekali aku membuka buku fisika dirumah menyelesaikan beberapa soal dan mengotak-ngatik soal. Aku semain bergairah ada keharuman yang kurasakan saat itu.

Tapi semua berubah di klas XI. Pelajaran fisika menjadi pelajaran yang membingungkan, gelap dan suram. Ada dua hal yang membuat fisika terasa gelap bagiku. Pertama karena aku gak mau belajar kedua karena aku males belajar. Intinya aku males belajar.

Bukan hanya fisika, beberapa mata pelajaran terasa gelap bagiku. Tapi aku gak peduli dengan semua itu. Ada eskul yang membuatku betah di sekolah dan nyaman di kelas. Beberapa guru mengenalku dengan baik dan hampir seluruh siswa di sekolah ini mengenalku, mereka lebih mengenalku dengan nama “Poter” panggilan yang di berikan kakak kelasku yang dijuluki “tentara jepang” oleh temannya.

***

Nilaiku merosot, tapi aku sadar semua itu bukan karena aku siswa yang bodoh, hanya kerana aku siswa yang malas. Buktinya saat ujian beberapa temanku masih senang memanggilku meminta jawaban dan mencontek padaku.

Seingetku ada dua hal yang membuat temanku memanggilku saat  ujian, pertama karena aku belajar sebelum ujian yang kedua karena aku pandai menjalin komunikasi dengan teman-temanku yang pintar waktu ujian. Jadi meskipun jawabanku belum tentu benar paling tidak aku mendapat jawabannya dari temanku yang dilebeli “Pinter” di kelas.

Masih dikelas sebelas, bagiku matematika adalah pelajaran yang membosankan, aku bahkan gak tau banyak tentang matematika, membingungkan dan gak ada asiknya. Aku malas belajar matematika dan kerap di sindir guruku matematikku di kelas sebelas. Sampai suatu haru gru matematika kami berganti aku masih malah mengikuti pelajaran matematika.  Maskipun matematika membosankan, tapi ku rasa ini lebih baik dari pada aku harus menghapal.

Jujur aja waktu itu aku lebih seneng mengikuti kegiatan eskul seperti OSIS, Pramuka atau Paskibra dari pada belajar di kelas. Meskipun aku bukan anak eskul yang paling baik tapi paling tidak aku punya banyak teman dan punya banyak cerita di sekolah terutama di lingkungan eskul.

Salah satu guru yang paling sayang padaku di kelas sepuluh tidak mengajar di kelas sebelas. Meskipun demikian, beliau masih ingat denganku, sesekali beliau memanggilku menyuruhku untuk menyirami bunga di depan kantor dan memindahkan beberapa pot bunga yang terususun di depan kantor.


Sisi baiknya aku jadi dekat dengan guru di kantor dan di piket. Untuk urusan kapur (waktu itu kami masih menggunakan kapur) kelasku selalu dapet jatah paling banyak dan paling lengkap mulai dari jumlahnya yang banyak sampai warna yang lengkap. Hal ini karena aku punya akses khusus untuk membuka lemari kapur.

Aku bahkan sering ikut-ikutan mempersiapkan properti untuk upacara bendera, meskipun saat itu bukan giliran kelasku yang piket. Ikutan menyusun properti dari kantor kemeja piket atau sebaliknya. Aku juga sering menggunakan mikropon sekolah untuk mengumpulkan anak eskul (Khususnya Paramuka, Paskibra OSIS dan PHBI) atau sekedar memanggil perangkat kelas untuk keperluan tertentu.

Sampai aku kelas dua belas beliau selalu ingat denganku. Karena waktu itu kami udah pakai sepidol aku jadi punya akses yang baik untuk urusan spidol, kelas kami gak pernah kekurangan spidol. Aku juga gak pernah kehausan karena aku punya akses untuk minum air putih di ruang guru.

Bahkan temenku sampaiada yang menggeleng karena tingkahku yang masuk ke ruang guru untuk meneguk segelas air.Tapi gak sembarang waktu aku bisa kekantor guru untuk meneguk air putih. Ada waktu tertentu, khusunya waktu kantor lagi sepi karena gak semua guru mengijinkannya beberapa ada yang marah tapi beberapa yang lain memperbolehkannya.

Sampai akhirnya saat aku kelas dua belas, tertulis pengumuman di pintu ruang guru, siswa yang tidak berkepentingan di larang masuk ruang guru. Tapi sebagai siswa yang merasa dekat dengan guru aku masih sering ngendap-ngendap masuk keruang guru untuk meneguk segelas air putih atau teh manis kalo ada.

***

Aku masuk kelas XII, masih banyak cerita yang terjadi saat itu. Saat itu guru matematiku adalah guru yang paling asik yang pernah ku kenal. Guru yang mengenalkanku dengan otak kanan dan cara belajar kreatif.

Sejak saat itu aku selalu menanti kehadirannya di kelas, tapi bukan untuk belajar matematika, aku menantikan nasehat dan ceramahnya yang memukau serta games dan buku barunya.

Guru fisika ku adalah lguru yang kemampuannya gak di ragukan lagi. Dengan gaya megajarnya yang unik dan ceritanya yang menarik aku selalu menanti kehadirannya untuk mendengarkan ceritanya. Sesekali kami terdiam mendengar ceritanya tapi tak jarang kami terpaku saat menyelesaikan soal yang diberikannya.

Beliau lebih senang mengambil soal dari buku lain atau bahkan membuat soal sendiri dari pada memberi soal dari buku paket yang kami gunakan. Untuk satu soal saja kami harus berpikir kritis, butuh setengah jam bagiku untuk menyelesaikan satu soal darinya.

Sementara itu guru kimiaku adalah guru paling ajaib yang pernah ku kenal. Gak pernah membawa buku ke kelas cuma bawa absen aja. Mungkin karena pengalaman mengajarnya yang udah mantab dia hafal semua isi buku kimia yang jadi buku panduan kami.

Bahkan sampai halaman berapa pun beliau ingat. Cukup bilang “Buka halaman sekian lihat latihan sekian, disitu soalnya ...” beliau ingat semuanya.

Masih banyak lagi guruku dengan cara mengajarnya yang gak bisa kutulis di postingan ini mungkin lain kali. Dan saat itu aku selalu memperhatikan gaya mengajar guruku, sesekali menirukannya di depan teman-temanku, mungkin karena itulah aku di kutuk jadi guru.

Aku inget apa yang dikatakan guruku waktu itu. Kalimat yang hampir setiap guru mengamiinkannya katanya “Kalo kalian bandal, nanti kalo jadi guru murid kalian lebih bandel lagi”

Ternyata gak cuma disekolahku teman-temanku dari sekolah lain juga pernah mendengar kalimat yang sama dari gurunya.

Sekali lagi aku masih menjadi siswa yang malas belajar. Untuk beberapa hal aku cepat memahami pelajaran tapi untuk beberapa hal lain aku mudah melupakannya.

Ada hal yang ku syukuri saat itu. Beberapa guruku adalah guru  dengan kompetensi mengajar yang gak di ragukan. Tapi untuk beberapa alasan aku lebih senang mendengar nasehatnya dari pada pelajarannya. Ada satu hal yang ku ingat saat itu “Kalo gak dapet pelajarannya paling tidak aku dapet nasehatnya”

Terus terang aja, entah karena para guruku memang motivator yang bijak, mereka kerap memberikan motivasinya dengan bahasa yang menggebu. Menceramahi kami dengan berapi-api, mengingatkan kami untuk menjadi siswa yang berkompeten, siswa yang siap bersaing di tingkat nasional dan internasional.

Seolah-olah mereka tau, di kelas dua belas ini kami adalah remaja yang lebih membutuhkan motivasi hidup.  Meraka tau bimbingan moral dan akhlak itu jauh lebih penting. Tapi bukan berarti nilai-nilai intelektual itu tidak penting. Mereka bener-bener mengerti, niai moral harus lebih dahulu di beri sebelum nilai intelektual.  

***

Bukan hanya guruku yang mengajar di kelas. Kalo ku ingat-ingat kepala sekolahku juga merupakan penceramah yang hebat, ada yang bergetar saat beliau memberikan pidatonya, ada yang tersenyum dan mengaminkannya, ada yang menantikan kalimat selanjutnya, bahkan ada yang enggan meninggalkan barisan sebelum beliau selesai berpidato.

Sampai satu hari, ketika kepala sekolah kami berganti. Kepala sekolah kami yang baru juga merupakan penceramah yang hebat. Orator dengan suarunya yang lantang, menggebu dan menggetarkan siswa yang mendegarnya. Dengan pidatonya yang padat beliau mengingatkan kami agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, agama nusa dan bangsa.

Bagi siswa yang mau menggunakan akalnya lebih jauh mereka akan mengerti makna nasehat dan kalimat lantang yang diucapkan di depan siswa waktu itu. Butiran mutiara terucap dari lisan yang gak berhenti bicara. Ada keheningan saat beliau berbicara. Tak ada siswa yang  menyela atau sekedar menyahut, hening semua diam sampai beliau selesai bicara.

Aku senang mendengar nasehatnya dan motivasinya yang menggebu. Menurutku  beberapa diatara guruku memang pandai berorasi dengan menggebu, menceramahi kami dan mengingatkan kami untuk menjadi siwa yang berkompeten dan berkahlak mulia. Tubuhku bergetar semangat belajarku naik lagi. Tapi aku udah kelas dua belas. Sudah banyak pelajaran yang sia-siakan.

Waktu itu dikelas salah seorang guruku pernah bilang “setiap satu mata pelajaran, dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas idelanya harus ada satu bab yang kalian kuasai di setiap satu mata pelajaran” kira-kira itulah di katakan beliau waktu itu.

Aku mulai memandang kebelakang. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas gak ada satu mata pelajaranpun yang bener-bener ku kuasai satu bab penuh. Bahkan pelajaran yang paling mudah waktu itu pun gak bisa ku kuasai satu bab penuh.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya aku udah tertinggal jauh. Aku menyesal tapi udah gak ada gunanya.

***

Sekitar jam sepuluh pagi, teman-temanku sibuk memikirkan jurusan apa yang akan diambil di perguruan tinggi nanti. Mereka mulai mempersiapkan diri. Ada yang mempersiapkan diri untuk mengikuti SNMPTN ada yang mempersiapkan diri ntuk mengikuti uajian masuk STAN ada juga yang mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian masuk IAIN.



Mereka udah bersiap-siap menyusun strategi menyusun target berdasarkan Passing Grade dan hasil try out yang mereka ikuti lalu menentukan jurusan yang ideal bagi mereka.

Aku masih saja diem, aku bingung mau milih jurusan apa. Orangtuaku menyarankan aku untuk kuliah di IAIN SU (sekarang UIN SU), mungkin orang tuaku lebih mengerti kemampuanku.

Tap sebagai anak aku mengambil hak ku untuk memilih jurusan. Aku berpikir, jurusan apa yang paling enak dan gak ribet. Aku jadi teringat dengan salah sat guruku di MTsN. Sepertinya memilih jursan yang sama dengan beliau tidaklah sulit. Meskipun sebenenrya mata pelajarannya kurang ku sukai.

Pelan=pelan wlai kelasku bertanya “Kamu milih jurusan apa yas”

Dengan senyum aku menjawab “Bahasa Indonesia bu?”

“Bahasa Indonesia!” kelihatannya wali kelasku terkejut “Mau jadi apa kau ngambil Bahasa Indonesia?”

Aku diem dangak bisa ngomong lagi. Lal aku membuar kan wali kelasku yang beranjak dari kelas. Hening aku terpaku. Agaknya belia tau aku gak cocok di Bahasa Indoensia.

Aku pasrah, aku merasa kurang mampu di semua mata pelajaran. Akirnya aku memilih jurusan Pertanian ide ini terinspirasi dari pelajaran biologi waktu itu. Meskipun sebenernya aku sebel belajar biologi karena banyak nama ilmiah yang harus ku ingat sedangkan aku bukan orang yang gampang mengingat nama apa lagi nama ilmiah. Tapi aku tetap positif memilih Pertanian karena aku tertarik dengan kultur jaringan, dan metode pertanian yang baru aja ku baca.

Dengan penuh percaya diri aku mengikuti SNMPTN. Jurusan Pertama yang kupilih adalah Pertanian USU. Yang kedua, aku udah gak inget lagi. Setelah mengikuti ujian yang gak mudah, aku gak lulus. Tapi aku gak berhenti begitu saja, aku nyoba UMB tapi gak lulus juga. Pilihan terakhir aku memilih Jurusan PMM di IAIN SU. Dan Alhamdulillah aku di terima. Aku jadi inget sebelum aku mengikuti SNMPTN orang tuaku menyarankanku untuk masuk di IAIN SU.

Beberapa hari kemudian aku kembali kesekolah untuk menyelesaian urusanku di sekolah, sidik jari, pengambilan SKHU dan Ijazah. Ada hal yang sulit kulupakan waktu itu. Waktu itu wali kelasku di kelas sepuluh sempet bilang “Jurusan Matematika ya. Kayaknya kita jadi saingan. Sama-sama eksak”

Aku bergetar, ada tantangan tersenduru yang kurasakan. Sepertinya beliau menantangku agar kelak aku jadi guru eksak yang lebih baik darinya.

Sementara itu guru matematika ku di kelas dua belas agak terkejut “Hah! Jurusan Matematika” agaknya beliau mengerti betul kemampuanku dalam matematika waktu itu.

Saat itu aku beranji dalam diriku. Akan kuperbaiki matematikaku. Dan kubuktikan bahwa aku juga bisa seperti beliau jadi guru matematika yang disayangi siswanya dan dirindukan siswanya.

Ada yang ku sesali waktu itu. Tapi ada yang harus segera ku perbaiki. Banyak nilai-nilai kehidupan yang ku dengar tapi banyak juga nilai-nilai kehidupan yang ku abaikan. Aku seolah lupa dari mana asalku dan untuk apa aku hidup. Sebagai manusai yang memiliki banyak kesalahan sudah saatnya aku memperbaiki semuanya. Memperbaiki hidupku, tidak menunda waktu dan memanfaatkan waku sebaik mungkin agar aku tidak tertinggal lagi kemudia menyesal.

Seperti yang di katakan guruku waktu itu “Don’t till tomorrow if you can do today”

“Supaya kalian gak menyesal nanti” begitulah kata Miss waktu itu.


-------------------------------oOo-----------------------------
Blogger
Disqus

No comments