Kerikil Kecil - 6 - Kenangan itu masih membekas bersama semangat juangnya yang berhasil mengubah keadaan
Tiga hari yang
lalu saat aku dan Febri jalan-jalan ke pasar buku aku ketemu Helmi, temen smaku
yang paling rajin dikelasku waktu itu. Seperti biasa Helmi menyapaku dengan
ramah, kami pun terlibat obrolan kecil.
Aku yang cuma
beli satu buku sedikit malu saat melihat helmi membeli beberapa buku sekaligus.
“Untuk bahan
kuliah ya?“ tanyaku waktu
itu
“Ya, untuk
nambah referensi” jawab Helmi singkat
Tanpa banyak basa-basi Helmi meninggalkanku yang sedang
berpikir dua kali untuk membeli bukuyang ku pegang.
“dia temenmu?”
tanya Febri
Aku mengangguk “Temen sekelesku waktu SMA”
***
Jam tujuh pagi Helmi udah sampai di kelas,dia duduk di
bangku paling ujung sebelah kanan tepat di dekat jendela. Pandanganya keluar
jendela, ada sesuatu yang sedang di pikirkannya.
Miko nyamperin Helmi “Dah siap Fisika?”
Helmi tau apa yang di maksud Miko, tanpa bicara ia
mengeluarkan buku latihan fisikanya dari tas dan memberikannya pada Miko.
“Liat ya bray”
Helmi mengangguk.
Dua minggu ini helmi banyak diemnya, entah gara-gara cewek
atau punya masalah di keluarganya aku juga gak tau. Yang ku tau dia bener-bener
beda dari biasanya.
Jam setengah sepuluh, bel istirahat berbuanya. Para siswa
berhamburan keluar kelas ada yang ke kantin, ada yang ke perpustakaan ada yang
kemushola dan ada yang ke kantor guru karena keperluan tertentu.
Helmi masih aja diam dia menundukkan kepalanya di meja.
Fauzi nyamperin “Kau sakit?”
“Hah!” Helmi menggeleng “Enggak”
“Dicariin anak kelas sebelas tuh?”
“Ngapain?”
“Nanyak PR katanya?”
“Siapa?”
“Yang kemarin, yang ptih-putih tinggi”
“Nindi ya?”
“gak tau! Tuh dia di depan kelas”
“Suru masuk aja!”
Udah gak jadi rahasia umum lagi, helmi adalah salah satu
siswa yang diakui kecerdasannya di sekolah. Selain kerap juara kelas dia juga
pernah memenangi kompetesi akademis tingkat kota. Jadi gak heran banyak
junioran yang nanyak PR dengannya.
“Modus tuh modus?”
ujarku sambil membawa gorengan.
“Ih kak Rian”
Aku menyodorkan se kantung plastik gorengan untuk Helmi dan
dua orang cewek anak kelas sebelas yang lagi modusin Helmi. Helmi masih diam
dia fokus pada soal matematika yang di sodorkan kedua junior itu.
“makan dulu cuy”
“gapapa nih?”
Helmi malu-malu
“Makan aja!”
***
Aku ingat bener helmi berasal dari keluarga yang kurang
beruntung. Ayahnya seorang pedagng kelontong dan ibunya seorang asisten rumah
tangga. Kadang-kadang sepulang sekolah ia harus membantu ayahnya berdagang.
Padahl dia penyerang yang hebat di tim futsal kami.
Pernah suatu hari dia cabut dari rumah untuk ikutan main
futsal dengan kami. Saat itu aku dan dua orang temenku yang mengantarkannnya
pulang harus melihat adengan yang tak diinginkannya ketika melihat helmi di
marahain ayahnya tepat di depan kami. Tanpa basa basi dan tanpa pamitan kami
pun langsung kabur, takiut kalo tiba-tiba kami di marahin ayahnya Helmi.
Sejak kejadian itu Helmi gak pernah ikutan main futsal lagi
kecuali kalo di ijinkan dari ayahnya. Tapi sejak saaat itu sampai kami lulus,
seingetku dia hanya tiga kali ikut main futsal dengan kami.
***
Dikelas dua belas semester dua helmi mendadak jadi pendiem.
Entah apa sebabnya. Aku udah berusaha membujuk helmi untuk bicara tapi aku
gagal. Padahal aku dikenal sebagai tukang modus yang aling pande merayu orang.
Pilihan terakhir kami terletak pada Nirmla, Siswi kelas
sebelah yang pernah disukai Helmi. Diem-diem aku, Miko dan Fauzi nyamperin
Nirmala yang sering nongrong di pojok perpus. Tempatnya PDKT dengan Helmi.
“Kalo kamu bisa membuat dia bicara,
kami traktir makan bakso deh” aku mulai membuat kesepakatan dengan
Nirmala
“Gak cuma itu. Ku anatar jemput gratis
selama sebulan”
Ujar miko, karena kebetulan miko punya motor.
“Kalo aku kemanapun kau peri bakalan ku
payungin”
ujar Fauzi nambahin
Nirmala malah bingung “sebenernya ada apa sih?”
Aku menceritakan semuanya. Nirmala manggut-manggut tanda
mengerti. Akhirnya kesepakatan pun di tandantangani.
Supaya semuanya berjalan mulus, sepulang sekolah aku dan
Miko harus keluar kelas bareng Helmi. Sementara itu Fauzi mengamankan posisinya
didepan gerbang dengan NIrmala.
Rencana pun di mulai, kami pun berhasil mempertemukan
Nirmala dengan Helmi. Setelah mereka bertemu kami mencari alasan untuk
meinggalkan mereka berdua.
“kami tinggal bentar ya? Motornya Miko
mogok nih”
Helmi cuma nyengir, kami meniggalkan berdua dengan Nirmala
Dari jarak yang agak jauh kami mengamati mereka berdua yang
duduk bareng di halte depan gerbang sekolah.
Setengah jam berlalu spertinya obrolan mereka tidak menemui
itik terang. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aja Helmi menyetop angkot yang
lewat dan kabur begitu saja.
Kami segera nyamperin Nirmala, tak lama sidni pun dateng.
Beragam pertanyaan pun bermunculan dari kami.
“Dia masih gak mau bicara”
ujar nirmala.
“terus” ujar fauzi yang dari tadi kepo pingin
tau isi obrolan mereka.
“Udahlah! Aku mau pulang”
Nirama dan sindi naik angkot dan pergi meninggalkan kami
bertiga. Kami saling pandang, suasa hening seketika.
***
“Gak ada pilihan lain, kita harus
menyelesaikan ini” ujarju sebagai ketua kelas”
“Setuju ujar rahman”
“Ini resikonya besar dan harus kita
tanggung bareng-bareng” aku mulai meyakinkan temen-temenku
“Apa pun resikonya kita tanggung
bersama. Kalo ada yang berkhianat bakalan ku ikat di tiang listrik belakang
sekolah”
Miko menambahkan.
Jam istirahat pertama di mulai. Aku bergegas menuju gudang
di belakang perpustakaan yang biasa di gunakan untuk menyimpan meja dan kursi
yang udah risak berat. Aku dan lima orang temanku menyusun ruangan itu
sedemikian rupa.
Sementara itu Miko mengajak Helmi ke gudang. Sesampai di
gudang kami mendudukkan Helmi lalu mengikatnya daan menutup mulutnya. Helmi
meronta-ronta, tapi kami berhasil mengikatnya dan menutup mulutnya.
Aku menatap helmi tajam sambil memegang kayu bekas meja. “kau
tau apa salahmu?” tanyaku dengan nada sinis
Helmi panik, dia menggeleng.
“Cuy. Kita udah kelas tiga, sebulan
lagi kita UN, udah saatnya kau ngomong sama kami. Kau tau kan? Gak ada rahasia
lagi diantara kita, apa pun masalahmu jadi masalah kami juga. Selama ini kau
diem aja kau tau gak?! diemmu itu menjijikkan kau seperti meludahi mukak kami.
Tau kau?!”
Aku bicara layaknya
bos preman dengan seorang sandera. Setalah ngomong panjang lebar Dendi membuka
kain yang mengikat mulut Helmi. Dengan kondoso tangan terikat Helmi bicara.
“Aku bukan berasal dari keluarga
berada. Ayahku dan ibuku, kalian tu lah. Berapa penghasilannya perbulan”
mata Helmi berkaca-kaca.
Dia melanjutkan “aku pengen kuliah tapi orang tuaku gak
mengijinkan, meskipun aku dapet bea siswa orang tuaku tetap gak mengijinkan.
Kaliankan tau aku anak pertama dari lima bersaudara. Setelah lulus SMA, ayahku
ingin aku membantunya bekerja untuk meringankan ekonomi keluarga. Cuma adikku
yang paling kecil yang bisa kuliah, itu kata ayahku”
air mata helmi mulai menetes.
Suaranya terdengar parau, dia tetap bicara “Tapi
biar bagaimana pun aku tetep pengen kuliah. Aku sempat berpikir, setelah lulus
SMA ini aku bakalan kabur dari rumah supaya bisa kuliah. Meskipun di kutuk
orang tuaku dan di buang keluargaku aku tetep pengen kuliah. Karena aku tau
cuma ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keluargaku dari kemelaratan”
air matanya semakin deras
“Aku tau geng! Gak semua sarjana itu
hebat tapi aku juga tau dengan menjadi sarjana paling tidak aku bisa bersaing
di persaingan kelas atas. Aku gak mau kayak gini terus, jadi pedagang kelontong,
kerja dimana-mana di hina orang, jadi buruh tenaganya gak kuat. Pokoknya aku
pengen kuliah. Cuma itu yang ada dipikranku geng! Gimana caranya supaya aku
bisa kuliah”
Helmi makin terisak dia udah kelihatan gak bisa bicara lagi
Kami semua diam, suasa hening. Aku memberi kode untuk
melepaskan tali yang mengikat Helmi.
“Satu, dua, tiga”
aku menghitung temen-temenku di gundang selain Helmi “sebels orang, nanti pulang sekolag
kita kerumahnya Helmi. Kita jumpai ayahnya” Ujarku pada teman-temanku
“Untuk apa?”
tanya Miko
“Kita bujuk ayahnya supaya dia di
ijinkan kuliah”
Helmi memelukku. Suasana makin haru beberapa diantara kami
bahkan ada yang menangis, kejadian mengharukan ini jadi pengalaman yang gak
pernah terlupakan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang diiringi suara besi
diseret. Pak bimbimg guru BP aling killer sedunia akhirnya menemukan kami di
gudang.
“Bro kita ketahuan cabut. Habislah kita”
Ujar Miko panik
Aku memeberikan aba-aba “Satu, dua, tiga”
kami saling memandang “Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!”
Pak Bimbim terkejut “Hei! Berhenti!”
dia mengejar kami, tapi baru dua tiga langkah berhenti, kami tau pak bimbim gak
bisa lari mengingat perutnya yang buncut dan usianya yang udah hampir lima
puluhan tahun
Kami berlari menuju lapangan bandera, tanpa aba-aba kami
berbaris rapi “Hormat
Bendera!”
Guru piket dan Pak Bimbim heran “apa
yang sebenernya terjadi”
Mata Helmi masih sembab, tapi aku senang dia udah biasa
tersenyum lagi. Tak ada yang tau apa yan terjadi hari itu. Hanya kami dua belas
orang siswa kelas XII IPA 1 yang tau apa yang sebenernya terjadi.
Kejadian waktu itu memang membuat Helmi menangis Hebat, dan
akhirnya ayahnya mengijinkan helmi kuliah. Kami senang bisa membantu Helmi
memecahkan masalahnya.
***
Usai membeli buku, aku dan febri menuju parkiran. Helmi
menelponku “Dimana
geng?”
“Di parkiran. Ada apa?”
“Bisa datang di kedai bakso depan”
“Yang mana? Banyak ni warung baksonya”
“Kedai bakso mas helmi?”
Aku celingukan kesana kemari “Yang mana sih?”
“Itu ya?! Febri menunjuk ke arah warung
bakso yang terpampang spaduk bertuliskan Kedai bakso mas helmi.
Kami kesana. helmi menyambut kami dengan penuh senyuman “Silahkan
duduk?”
Sesaat aku sadar seragam yang di kenakan helmi sama dengan
pelayan di kedai bakso ini. “Ini warung mu?”
Helmi mengangguk “MAu pesan apa? Makanlah sepuasnya?”
“Serius? Kok bisa?”
Banyak yang terjadi pada Helmi sejak lulus SMA, dia masuk
kuliah dapet bea siswa dan mengolah uang beasiswa itu sampai berhasil membuka
kedai. Dan hari ni menjadi hari yang panjang dan penuh cerita.
Aku menjadi saksi atas perjuangan Helmi semangat juangnya
yang tinggi membuat keadaan berubah bukan hanya kuliahanya bahkan ia berhasil
memperbaiki ekonomi keluarganya. Kabarnya ayah dan ibunya ikut berperan dalam
membuka kadainya ini.
“Ini belum berakhir geng! Perjalanan
kita masih panjang. Kita gak pernah tau apa yang akan terjadi esok” Helmi tersenyum padaku sama seperti saat kami
hormat bendera waktu itu, matanya sembab tapi penuh arti.
“Terus apa yang terjadi waktu kalian
hormat bendera?” Febri makin penasaran
Aku dan Helmi saling pandang, kami tersenyum “Udahlah
kayaknya kau gak usah tau”
“Kami dihukum. Nyuci wc selama sampai
menjelang UN. Tapi, itu jadi hukuman paling keren yang pernah ku alami”
Helmi mengaduk kopinya. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan gelas dan
kenangan saat itu yang terdengar di telingaku.
-------------------------------oOo-----------------------------