Karena Kita Tidak Sama
Kita lahir sebagai pribadi yang berbeda. Kita
lahir dengan kepribadian kita masing masing dan memiliki karakter masing
masing. Kita tidak sama dan tidak akan pernah sama dengan yang lainnya.
Intinya kita berbeda.
Kita memang berbeda, namun kita
tetap memiliki persamaan. Kita sama sama manusia yang lahir sendirian. Sama-sama
manusia yang punya tanggung jawab masing masing.
Sampai ada yang bilang sejak
lahir kita sudah dalam keadaan jomblo.
Adit :
Siapa bilang?
Aku : Aku
Adit : Iya
bro. sejak lahir kita memang jomlo. Kau gak salah, yang salah itu kita. Mengapa
sampe sekarang kita jomblo.
Aku memang gak mau menyalahkan
keadaan. Aku udah 26 tahun tapi aku masih sendirian dan tinggal di kontrakan
sendirian.
Rasanya itu
Ah! Sudahlah. Kalian tau
sendirikan.
Ngomong-ngomong soal perbedaan
aku selalu punya perbedaan pandangan dengan Tiara (mantan pacarku waktu
kuliah).
Mungkin perbedaan pandangan ini lah
yang membuatku tidak menemukan kata sepakat hingga akhirnya kita memilih untuk
udahan.
Di lain cerita aku juga memiliki
perbedaan pandangan dengan Romlah, istrinya sepupuku yang dulunya adalah
gebetanku. Kita memang selalu punya perbedaan pandangan tapi anehnya kita
selalu punya cara untuk menemukan kata sepakat.
Tapi sayang, kita gak jodoh.
Akhirnya aku mengerti sepakat
saja tidak cukup untuk menyatukan perbedaan. Ada Yang Maha Kuasa, yang memiliki
kehendak untuk menyatukan dan memisahkan.
***
Adit :
Sabar ya bro. semoga kau dapet jodoh yang lebih baik
Aku :
Maksudnya apa nih
Adit :
Supaya kau gak sedih aja.
Sejak Romlah menikah hidupku
banyak berubah, mendadak teman-temanku banyak yang berkabung untuk ku. “R.I.P
untuk hatiku yang patah” begitukah kira-kira maksudnya.
Iya. Hatiku memang patah sejak
saat itu, bahkan sebelum Romlah menikah pun hatiku sudah patah.
Tapi apa aku bisa apa?
Dia memang bukan jodohku, dan aku
tak bisa apa-apa. Dia memang baik tapi Allah lebih tau apa yang terbaik
untukku.
***
Di usiaku yang sekarang ngomongin
perkara jodoh itu memang menyeramkan. Apa lagi kalo di bumbui dengan pertanyaan
“Kapan nikah?” rasanya kok nyesek ya.
Adit : kau
nyesek lit?
Aku : iya
Adit : Aku
lebih nyesek
Kita memang terlahir berbeda, dan
pastinya perkara jodoh pun pasti berbeda begitu juga dengan perkara maut, pasti
juga berbeda.
Masalahnya aku hampir gak kuat
menahan pertanyaan ini
Adit :
Sabar pak guru, masih di tanya kapan nikah aja udah gak kuat? Gimana nanti kalo
nanti udah nikah?
Aku : Iya
juga ya? Makasih ya Bro.
Adit :
Lemah?! Heh!
Aku : Terus,
kau kapan nikah
Adit :
Nunggu waktu yang tepat
Adit bener, dan kali ini aku
sepakat denganya, di tanya kapan nikah aja gak kuat, gimana nanti kalo nanti
udah nikah.
Aku sama seperti manusia pada
umumnya, ingin menikah dan membangun keluarga kecil lalu hidup bahagia. Seperti
cerita dalam dongeng, sang pangeran menikah dengan sang putri lalu hidup
bahagia selama-lamanya.
Tapi semua itu hanya ada dalam
cerita. Kenyataannya tidak seperti itu. Tidak mudah dan tidak langsung bahagia.
Aku tau setiap orang punya
hidupnya masing-masing dan setiap orang punya ceritan masing-masing.
Ceritaku belum selesai, ada
bagian-bagian yang harus ku jalani dan ada bagian yang harus ku selesaikan
untuk bisa melanjutkan ke bagian berikutnya.
***
Minggu pagi aku
menjemur pakaianku seperti biasa. Ekspetasi jalan-jalan minggu ini harus batal
karena temanku pada sibuk semua. Sementara itu pekerjaan di rumahku udah
numpuk.
Pakain kotor
udah banyak, pakaian di kamar berantakan, piring kotor udah lima hari gak di
cuci, rumah udah sebulan lebih belum di pel, ruang tamu juga udah tiga hari
belum di sapu.
Tetanggaku lewat
“Pak guru mankanya cewet kawin biar ada yang nyucikan baju”
Aku tersenyum
kecil “he he he he. Iya bu, lagi banyak cucian nih”
Ledekan semacam
ini udah biasa terdengar olehku. Maklum di gang tempat ku tinggal hanya aku
yang lajang, hanya aku yang tinggal sendirian.
Pagi ini
terlihat cerah, anak-anak kecil berlarian kesana kemari mereka terlihat sangat
bahagia, melihat mereka bermain ingin rasanya aku punya satu. Tapi, ah sudahlah.
Riki, anak kecil berusia tiga tahun masuk kerumahku.
Sebenernya aku
gak suka kalo dia masuk kerumahku tapi mau gimana lagi coba, aku lagi megang
jemuran. Aku pun membiarkannya masuk kerumah, mengacak-ngacak mejaku dan
memakan gorengan di atas meja.
Aku membiarkanya
sampai akhirnya dia memakan cabe rawit yang ada di dalam tahu isi.
Dia menjerit
kepedasan. Aku menghampirinya lalu memberinya minum teh manis yang sudah hangat
“Udah sana pulang”
Aku menyuruhnya
pulang. Bukan karena aku gak sayang anak kecil, tapi aku gak mau di gosipin
yeng enggak-enggak.
Riki, anak
seorang janda muda yang terkenal cantik di gang ku. Ayahnya meninggal setahun
yang lalu karena kecelakaan jalan Raya. Mbak Leni, ibu nya memilih untuk
menjadi single parent dan merawat Riki
sendirian.
Sejak Riki
sering main kerumah, aku sering di gosipin “Pacarnya Mbak Leni, calon bapaknya
Riki yang baru”
Duh! Gaswat!
***
Sorenya aku
membuat story di WA “Harus semangat” dan lagi lagi orang yang tak ku harapkan
membalasnya dengan bijak “Semangat Pak guru”
Tiara lagi,
orang yang sudah lama pergi dalam hidupku dan sengaja ku lupakan berharap dia
tak datang lagi.
Tapi belakangan
ini dia muncul lagi di hidupku sejak dia bekerja di sebuah perusahaan swasta
yang di pimpin teman SMA ku.
Adit :
Lagian gak salah juga kan kau nyimpen nomor mantanmu? Salahnya dimana coba?
Aku : iya
sih? Tapi cuma gak enak aja. Nyimpen nomor mantan.
Adit :
daripada nyimpen nomor Romlah. Kan lebih bagus nyimpen nomor Tiara
Aku : Eh!
Gak ada yang
mending dari keduanya. Mau itu Romlah, mau itu Tiara keduanya adalah orang yang
tak ku inginkan lagi.
Adit : Aku
salah ya?
Aku :
Enggak siiih. Tapi kalo bisa jangan sampe ketemu mantan lagi.
Adit : Kok
gitu. Aku aja gini-gini masih berteman baik lo sama mantanku.
Aku :
Kita gak sama dit. Kita memang sudah berbeda sejak lahir, ada banyak hal yang
gak bisa kita sepakati dan banyak perbedaan yang membuat kita gak bisa sama.
Kalo kau masih bisa berteman baik dengan mantanmu. Selamat, kau kuat. Tapi
sayangnya aku gak bisa dit. Aku gak bisa kayak kau. Entah kenapa, bagiku yang
namanya mantan itu rasanya lebih baik ku hindari.
Aku menarik
napas dalm-dalam.
Adit : Aku
ngerti perasaanmi lit. Dari dulu kita memang selalu berbeda pendapat, tapi aku
seneng punya temen kayak kau. Aku jadi bisa memandang sesuatu dari sisi yang
berbeda. Aku jadi tau kalo masalah itu gak bisa di pandang dari satu sisi aja.
Ada banyak sisi yang harus kita lihat ada banyak hal yang harus kita
pertimbangkan. Aku juga menghargai pendapatmu soal ‘mantan’. Yaaa, kalo gak gak
mau ketemu mantanmu aku mau ngomong apa.
Entah apa yang
terjadi dalam hidupku, rasanya memang tidak enak ketemu mantan. Meskipun ada
yang bilang “Tanda kau dewasa itu kalo kau udah bisa baikan dengan mantanmu”
Mungkin bener.
Tapi aku gak
sepakat. Biar bagaimana pun aku tetap gak mau ketemu mantanku lagi, apalgi
sampe berteman deket sama mantanku lagi.
Tapi
Kalo memang
kalian lagi deket dengan mantan. Selamat, kalian kuat.
Adit :
Lit, suatu saat, cepat atau lambat kau akan mengerti. Mengapa aku bisa berteman
baik sama mantanku.
Aku hanya diam.
Mungkin iya,
suatu saat nanti yang entah kapan.
***
Aku memang gak
sama dengan Adit. Aku gak suka mengingat mantan, apa lagi ketemu dengannya.
Kalo bisa ku hindari kuhindari saja dia.
Entah apa yang
ada di pikiranku, pokoknya sebisa mungkin aku bakalan menghindari mantanku.
Adit :
Terus, kalo suatu saat kau butuh dia gimana?
Aku :
Kalo bisa jangan dia lah.
Adit :
Kenapa?
Aku : Aku
cuma mau move on. Aku gak mau inget
mantan lagi. Entah itu Tiara atau pun Romlah.
Adit : Tapi
kalo Mbak Leni, pasti mau kan?
Aku : Enggak
juga.
Adit : Kenapa
enggak?
Aku : Kalo
bisa jangan
Adit : Kalo
harus memilih, kau milih mana. Tiara atau Mbak Leni
Aku : Enggak
dua duanya
Adit : Mbak
Leni itu cantik loh, udah PNS baik lagi. Tiara juga cakep, kerjanya di kantor,
gajinya juga lumayan. Pokoknya kau gak bakalan susah lah.
Aku : Kenapa
gak kau aja.
Adit : Aku
entahlah!
Malam itu aku
menghabiskan waktuku ngobrol dengan Adit, teman SMA ku yang sekarang menjadi
bosnya Tiara.
Malam itu juga kami
ngomongin banyak hal, salah satunya adalah ngomonngin bisnis keluarganya yang
semakin berkembang. Dia juga memintaku mencari orang yang dapat di percaya
untuk bekerja di bisnis keluarganya.
Aku menyanggupinya,
dan semoga aku segera menemukan orang yang dapat di percaya untuk bisnis
keluarganya.
Sebenernya sudah
sejak awal dia memintaku untuk bergabung di bisnis keluarganya, akan tetapi aku
menolaknya karena ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan prinsipku.
Untungnya Adit
menghargai semua itu.
Aku senang bisa
berteman dengan Adit, sebagai teman yang memiliki banyak perbedaan aku gak
pernah bertengar hebat dengannya. Kita selalu menghargai perbedaan diantara
kita. Dan syukurnya sampe sekarang kami tetap akrab.
Mungkin yang
menjadi satu-satunya persamaan yang paling mencolok adalah kami sama-sama “Jomblo”
Iya, kami
sama-sama belum menikah. Masih lajang dan sering di Tanya “Kapan Nikah”
Kini aku gak
menyangka Adit bakalan tumbuh besar dengan bisnis keluarganya.
Aku juga gak
menyangka bakalan bertemu lagi dengan Tiara setelah sekian lama gak bertemu.
Dan yang paling gak kusangka adalah aku di gosipin pacaran sama Mbak Leni.
Duh! Gaswat…
-------------------------------oOo-----------------------------